Selasa, 25 Juni 2013

I WISH SOMEONE LIKE YOU



SOMEONE LIKE YOU, I WISH...

Never mine I’ll find someone like you
I wish nothing but the best for you
Don’t forget me
I begged....
I’ll remember you say
Sometimes it last in love
But sometimes it hurt instead...
Sometimes it last in love
But sometimes it hurt instead
Yeah...yeeeee..

Tepuk tangan para tamu undangan riuh bergema, seiring langkahku menuruni panggung yang tepat berhadapan dengan kursi pelaminan seseorang yang hingga detik ini masih mengisi relung hati terdalamku, menyisakan perih yang teramat sangat menyaksikannya bersanding mesra dengan perempuan yang dia pilih. Mencoba membohongi hatiku dengan berkali-kali memakukan kata, aku bahagia jika kau bahagia, ya cuma itu yang aku bisa, mencoba untuk terus mengembangkan senyum, menyumpal agar air mataku tak menetes karena hatiku yang sudah luluh lantak saat ini. Dengan sisa tenaga yang kupunya aku berjalan menghampiri kedua mempelai yang saat ini sedang berada dipuncak asmara itu.
“ Selamat ya Prama!” Kugenggam erat jemari sang pujaanku itu, Ya Tuhan..ingin sekali aku menculiknya, menyembunyikannya dalam benteng yang tinggi, dan hanya aku yang tahu, menjadikannya milikku, milikku.
“ Makasih Dit, Makasih sudah datang, suara kamu indah sekali!” bisiknya lembut.
Aku tersenyum, kualihkan pandanganku pada Gendis, perempuan yang mampu memenangkan hati Prama-ku, yang sedari tadi menatap cemas, dia jelas tak mengaharapkan hadirku dihari istimewanya ini, karena dia tahu pasti akan hubunganku yang rumit dengan lelaki yang kini telah menjadi suaminya itu.
Rumit?? Ya...sungguh rumit.
“ Selamat ya Ndis, semoga rumah tangga kalian diberkahi Tuhan, selamat, kamu beruntung memiliki Prama!” Bisikku disela pelukan kami.
“ Makasih Dit Doanya, aku berharap kamu segera menemukan seseorang yang diciptakan Tuhan buat kamu, terima kasih restumu untuk kami, terima kasih sudah menjaga Prama selama ini, mulai sekarang aku yang akan menjaga Prama!” Bisikan Gendis terdengar seperti halilintar yang menggelegar ditelingaku sekalipun itu  sangat lembut dan hanya aku yang bisa mendengarnya.
Kulepaskan pelukkanku darinya, kutatap dia dan kugenggam jemarinya, kuanggukkan kepalaku, bersama itu pula aku melangkah jauh dari kehidupan seorang Prama, selamanya.
Sempurna sekali, rintik hujan turun makin deras menyirami langkahku, seolah mengamini perasaanku yang kacau sedari beranjak dari gedung pesta hingga tepat kuhempaskan tubuh diatas kasurku yang empuk, menangis sejadi-jadinya, kecewa, marah, sedih yang tak berujung campur aduk sudah, membawaku menerawang jauh kemasa rumit itu, masa-masa yang menghadirkan Prama dalam hidupku.
Pertemuanku dengan Prama dimulai ketika aku duduk dibangku SMA pada tahun pertama, takdir mempertemukan kami dalam satu kelas saat itu. Sosok Prama yang dingin menggodaku untuk lebih jauh mengenalnya, Prama dianugrahi wajah hampir sempurna, matanya sipit namun ia memiliki tatapan tajam dan magis, tulang hidungnya tinggi dan mancung, bibirnya penuh, giginya kecil-kecil berderet rapi, rambutnya ikal dan tubuhnya tinggi tegap. Kulitnya putih bersih. Masih ingat Rangga cowok pujaan Cinta dalam film remaja terbooming ditahun 2000-an berjudul ADA APA DENGAN CINTA??, ya...Prama adalah sosok Rangga dalam kehidupan nyata. Entah suatu kebetulan atau tidak, Prama memiliki tabiat yang sama persis dengan Rangga, remaja yang begitu dingin,dan berusaha mengisolasi dirinya dari dunia, disaat aku dan teman-teman dikelasku asyik dengan hiruk pikuk masa SMA, dia hanya duduk diam dipojok kelas, sambil sesekali tersenyum kecut. Prama begitu tertutup, tak banyak yang kami tahu tentang dirinya. Itulah yang membuatku makin penasaran akan sosoknya.
Ditengah pelajaran aku sering mencuri pandang, rasanya Prama memiliki sonar yang kuat untuk membuatku selalu ingin memperhatikan keberadaannya. Sampai, akhirnya aku mulai sadar kalau aku jatuh cinta, iya...Prama sudah membuatku jatuh cinta.
“ Dit, boleh pinjem PR kamu?” seru Prama, ini pertama kalinya dia bicara denganku setelah sekian lama, disuatu pagi ditengah hiruk pikuk suara teman-teman yang lain, adat istiadat anak Indonesia, pagi buta datang kesekolah saling mencontek PR kemarin.
Ahk... akhirnya dewi fortuna menyentuh pundakku, kesempatan seperti ini tak akan aku sia-siakan.
Tanpa pikir panjang aku mengiyakan dan menyerahkan buku PR-ku padanya. Dalam hati aku berkata, jangankan PR hatiku pun kau minta akan aku berikan, hahaaai.
“ Makasih ya!” seru Prama lagi, masih dengan ekspresi dingin yang membuatku makin geregetan.
Aku tersenyum simpul.
Beberapa lama kemudian, Prama menyelesaikan Pekerjaan Rumah hasil contekannya itu.
“ Ini bukunya, makasih!” Ujar Prama singkat.
 Haaahk.. ini orang lahir dari es kutub apa ya? dingin banget??
“ Lupa ya nggak ngerjain PR-nya?” aku menimpali, mencoba memberanikan diri, jantungku berdebar kencang seperti mau berlari keluar dari rongga dadaku.
“ Nggak bisa, PR-nya susah!” jawabnya enteng.
“ Ahk...gampang kok, aku ajarin ya?” tawarku sok genit
“ Lain kali aja, Males!”
Skak Math untukku, Busyeeeet deh.
            Satu persatu kutelanjangi berita yang akan ditempel di dinding sekolah, hari itu adalah giliranku yang bertugas mengedit karya para siswa yang dikirim kemeja redaksi Tim Mading tempatku bernaung, hingga pada satu karikatur yang begitu menarik perhatianku, gambar yang lucu, gumanku. Mataku tak henti mengagumi, siapa sipelukisnya? Disudut bawah terpampang semu, Pramadya Adiguna. Astaga...nama itu sungguh tidak asing, benar saja, karikatur itu hasil karya Prama.
“ Pram, ternyata kamu pinter nggambar ya?” sapaku sok akrab disela waktu istirahat, seperti biasa, siang itu Prama masih duduk dengan tenang dipojok kelas.
Prama hanya memandangku dingin, yaaaa...masih sedingin gunung es, masih seperti biasa.
“ Tadi, aku pasang karikatur kamu di mading lho!” aku tak menyerah
“ohk!”  ia menjawab, singkat.
hiyaaaaaaaa....rasanya ingin kuteriaki kupingnya, HAI...!!! CAN YOU SEE ME!!! IAM HERE !!!!
sudah dua menit aku mematung dihadapannya, tanpa respon, cowok es itu malah asik dengan komik ditangannya, aku menarik nafas kalah...Huuufft... aku mendesah kesal.
“ Kenapa?” Seru Prama tiba-tiba, dia bisa menangkap mimik kesal yang terpampang diwajahku.
“ Kamu dingin banget sih Pram ? kamu ada masalah hidup ya? “ aku menyambar, mulai terbawa emosi karena diacuhkan tadi atau mungkin juga muak dengan sikap esnya itu.
“ Kamu ada masalah sama aku?”  Sicowok es itu balik bertanya, wajah putihnya memerah garang.
“ Iya, ada! Aku ngajak ngomong malah dicuekin, gak sopan banget sih kamu?” Kataku dengan nada meninggi.
“ Aku nggak nyuruh kamu ngajak ngomong aku!” Jawabnya ketus, sialan...makiku dalam hati
“ Ihk...kamu itu turunan alien apa gimana sih, dah aneh...”
BAAAAK...!!! belum selesai aku bicara komik ditangan Prama meluncur pasti menghentak meja dihadapan kami. Dia lalu berdiri dan berhambur pergi meninggalkanku yang hanya bisa terpaku, seperti mendapat shock terapi disiang bolong. Air mataku menetes tanpa kusadar.

“ Dita, ada temen kamu didepan!” seru ibu didepan pintu kamarku.
“ Hahk..siapa, Bu?” tanyaku penasaran
“ Cowok, cakep lho, katanya sih namanya Prama!”
WHAAAAAT?????
Prama?? Apa yang dia lakukan dirumahku? Serius yang datang itu Prama?, aku langsung menerjang keluar kamar, tak percaya yang kulihat, kucubit lengan kananku, auuugh...ini bukan mimpi, benar saja, Prama sedang duduk kaku diruang tamu rumahku.
“ Pram!” aku menyapa.
“ Ehk..Dit !” Prama beranjak dari posisi duduknya,menyambutku.
“ Ada apa, Pram?” tanyaku gusar
“ Aku mau minta maaf, atas sikapku tadi siang disekolah, sorry aku kasar sama kamu!”
HAAHHK..?? jangan sampai deh besok matahari terbit dari barat setelah peristiwa ini.
“ Oohkkkkh...” kataku pelan
“ Maaf ya, aku sampai bikin kamu nangis!”
Weeeeeii....dia tau aku nangis gitu?? HAAAAA
“ Nggak papa kok, aku cuma...shock aja kali ya? Abis selama ini nggak pernah ada orang yang bertingkah aneh begitu padaku.”
“ Emang aku aneh banget ya buat kamu?” tanya Prama, air mukanya berubah sangat serius.
Aku tersenyum, mengangguk pelan, aku harus jujur kali ini, aku berharap dia bisa lebih mencair setelah ini.
“ Bukan buat aku aja sih, temen-temen dikelas juga sering ngomongin betapa dinginya kamu, nggak mau bersosialisasi, menyendiri, seperti kamu punya beban hidup yang berat.”
Prama terdiam, matanya menerawang jauh.
“ Ayah Ibuku akan segera bercera,  Dit!”
Ya Tuhan, tubuhku bergetar hebat mendengar pernyataan Prama yang tanpa basi-basi itu, ahk..pantas saja, jadi ini sebabnya, siapapun yang diposisi Prama dengan usia semuda kami saat itu tentu saja akan terguncang karena tidak akan mudah menerima ini.
“ Aku..., Hik..Hik..!” Pecah tangis Prama ketika itu, seperti ada luka dalam yang tertumpah ruah, aku hanya bisa terdiam memandangi, bingung, namun ingin sekali menengkannya dalam pelukku.
“ Sabar Pram, tetaplah berdoa mohon yang terbaik pada Tuhan, apapun yang akan terjadi nanti, yah..ini pasti nggak mudah buat anak-anak seperti kita, tapi jika bercerai memang jalan terbaik untuk orang tua kita, kita hanya bisa berdoa mohon kekuatan, setidaknya Tuhan tidak akan menguji hambanya dibatas kemampuannya kan?”
Prama mulai tenang, perlahan ia mengusap air mata dipipinya, sembari menarik nafas panjang. “ Maaf, harusnya aku nggak cerita masalah keluargaku sama kamu, aku konyol sekali!” Lanjutnya.
“ Nggak papa Pram, sante aja, kapanpun kamu mau meluapkan semua perasaan kamu aku siap dengerin!”
Prama menatapku, aku bergidik
“ EEEhkhkk..dan aku nggak akan ember! SUER DEH!”
Prama melemparkan senyumnya, yah...senyum terindah yang pernah kulihat.
“ Makasih ya Dit! ”
            Sejak kedatangan Prama dirumah, kami jadi semakin akrab, gunung es yang ada dalam dirinya pun ikut mencair, dia mulai bisa beramah tamah, bercanda tawa lepas dengan teman-teman yang lain, sikapnya mulai jauh berubah, tak ada lagi Alien yang menatap aneh dipojok kelas. Itu membuatku senang.
Tapi, aku sangat sedih ketika akhirnya orangtua Prama bercerai, malam itu Prama kembali datang kerumah dengan wajah yang begitu lusuh, suaranya dalam tercekit menyampaikan kabar buruk tentang perpisahan Ayah Ibunya kepadaku, sepertinya Prama cukup merekam kata-kataku saat itu, bahwa aku akan menjadi pendengar yang baik buatnya, ada rasa bangga disudut hatiku, aku merasa berarti untuk Prama, dan perasaan manis yang sudah lama kupendam itu makin menyeruak indah menghiasi seluruh relung kalbuku. Sejak saat itu,kami makin dekat dan rasa itu...makin bertumbuh subur dihatiku, Aku makin mencintai Prama.
“ Udah Dit, bilang aja sama dia, sampai kapan kamu diem?!” seru Vika, Vika dan aku berasal dari SMP sama, kami mulai dekat sejak tahun pertama kami duduk di SMA, Vikalah orang pertama yang tahu isi hatiku untuk Prama.
Ini sudah tepat di tahun kedua aku menyimpan perasaanku pada Prama, aku tak pernah berani menyatakannya, sekalipun Prama selalu didekatku, selalu ada untukku. Sehingga aku hanya bisa  menjadi sosok yang paling dia percaya, sosok yang bisa dia andalkan, sosok sahabat, ya...hanya sahabat.
“ Tapi Vik, Prama nganggap aku cuma sahabatnya!”
“ Ya elah...Dit, itu karena kamu juga bertingkah begitu didepan dia! Makanya kamu harus tunjukin kalau kamu tuh punya rasa yang lebih dari sekedar sahabat!” celoteh Vika gemas.
“ Takut Vik, nanti..kalau ternyata dia cuma angap aku sahabat doank gimana? Ntar aku malah kehilangan dia, aku nggak mau akh! Biar begini aja!” Elakku
“ Ditaaaaaa!!! Open your mind! Ntar diambil orang baru tau rasa!” ancam Vika
“Vik...kamu liat aku baik-baik deh!” aku meraih wajah Vika, kuarahkan tepat dihadapanku
“ Liat!! Aku ini cacat, jelek!  kalau aku secantik kamu, sudah dari dulu aku bilang sama Prama kalau aku suka dia, aku cukup tahu diri, Vik!” kataku lemas.
Aku tak sempurna, sepuluh tahun lalu aku dan keluargaku mendapat musibah, rumah kami terbakar, api membakar dahi, telinga hingga setengah pipi kiriku,melelehkan nya dan membekaskan luka jelas diwajah, bekas itu hanya bisa tertutup dengan operasi plastik, tapi Ayahku yang hanya seorang karyawan pabrik lepas, tak bisa berbuat apa-apa.
 “ DITA..LOVE IS BLIND! LOVE COMES WITH NO REASON, LOVE JUST LOVE!!” Tegas Vika.
Memang Ada benarnya yang dikatakan Vika, tapi aku tak punya nyali untuk melakukannya, setiap kali bercermin, rasanya topan besar menghempaskanku, membuatku mundur berjuta langkah, aku tak akan pernah pantas bersanding dengan Prama yang sempurna.
            Akhirnya saat kelulusan tiba, dimana hubunganku dengan Prama tak beranjak sedikitpun, ketika aku hanya cukup menjadi pendengar setianya dan dia makin menjadi sosok impianku, bom waktu seolah hendak meledak, lama-lama aku sudah tidak bisa lagi menyimpan perasaanku ini, akhirnya aku beranikan diri untuk mengungkapkan juga rasa hatiku padanya, aku kumpulkan seluruh nyali, kupikir inilah saat yang tepat, toh Prama pernah bilang, kalau dia akan meneruskan pendidikannya ke Perguruan Tinggi diluar Kota setelah lulus, kunyatakan atau tidak toh Prama tetap akan meninggalkanku, tak ada bedanya. Apapun yang akan terjadi nanti, aku siap! Karena menyimpan perasaan cinta sendiri, terasa bagai menggenggam bara yang makin lama makin membakar. Kata-kata Vika terus terngiang ditelinga,  Love is blind, love comes with no reason LOVE JUST LOVE.
“ Apa?? HAHAHHHAHaa”
Itu jawaban yang keluar dari mulut Prama sesaat setelah aku beranikan diri untuk menyatakan perasaanku, dia malah tertawa terbahak bahak membiarkanku yang berdiri kaku dihadapannya.
“Prama, kok malah ngakak sih!” aku menggerutu kesal
“ Hahahaha, jangan becanda deh Dit, nggak lucu ahk, hahaha!” Prama masih saja terbahak-bahak, menepuk nepuk lututnya, hingga air mata keluar, entah kenapa, sepertinya hal ini terlihat begitu lucu baginya.
“ Prama, aku serius, aku suka kamu, aku sayang!”
“ Iya..iya..aku tau, aku juga..suka sama kamu, sayang, kikiiikkkkiik.” Sambungnya sambil masih menahan tawa, aku mulai gerah dengan sikapnya itu.
“Ya udah ahk, ketawa sana sampe mampus, aku pergi!” Aku Marah.
“Ehk..ehk..Dit!!” Prama menyambar tanganku “ Iya maaf deh.”
“ Pram...aku serius, aku sudah lama memendamnya!”
Pelukan hangat Prama tiba-tiba mendarat ditubuhku, membuatku terbujur makin kaku saking terkejutnya.
“ Iya, aku tahu kamu sayang aku, aku nggak sebodoh itu, Dit!”
yah...cukup sampai disitu jawaban Prama, tak ada lagi kelanjutan cukup beberapa kalimat itu saja.
Rumit, hubunganku dan Prama akhirnya berjalan tanpa status, dibilang pacaran tidak, tapi  mesra iya, setidaknya ada rasa lega, setidaknya pula dia tahu perasaanku padanya, setidaknya ada harapan untuk memilikinya lebih dari seorang sahabat, yah...setidaknya.
“ Lhoh...nggak jadi kuliah di Jogja?”  aku terkejut mendengar keputusan Prama suatu sore, bukankah sebelumnya dia begitu mengiimpikan kota itu untuk meneruskan pendidikannya?
“Akh..enak disini ajah deh Dit, deket Mama, kasian Mama kalau sendirian !” setelah perceraian kedua orang tuanya Prama memilih untuk tinggal bersama ibunya.
“ Yaaaaaaa, biar tetep deket kamu juga sih,hehehe!” dia menggoda.
 “iiihkh..apaan sih?”
“ Ntar siapa yang ngomelin aku, Prama jangan begini, Prama nggak boleh ini..itu ? Trus yang mo nemenin aku nonton siapa?” celoteh Prama.
“ Jangan gitu deh, mo bikin Ge er, mentang-mentang tau gitu kalau aku sayang ma kamu?” sahutku ketus.
“ idih kok...sewot ?!”
Lalu Kujitak kepalanya keras.
            Menggantung, kenapa lama-lama aku merasa ini tak adil, aku tak pernah tahu apa yang dirasakan Prama kepadaku, tak pernah ada keputusan, apa dia sedang mempermainkan aku? Atau...karena...dia hanya tidak mau membuatku kecewa  atas penolakannya nanti??
“ Kamu anggap aku apa sih Pram? ” Tanyaku serius suatu hari didepan kantin kampus  ketika dia berkunjung menemuiku selepas kuliah.
“ Udah deh Dit, nggak usah ngomong yang macem-macem, yang penting kita selalu bersama, sudah cukup kan?” jawab Prama santai sambil terus menyantap semangkok mie ayam kesuakaanya.
“Kamu malu kalau punya pacar berwajah cacat ya?” aku pantang menyerah, tentu saja, aku butuh kejelasan, tidak bisa dibiarkan tergantung seperti ini, iya aku sadar diri dengan keadaanku, tapi aku juga punya harga diri, aku hanya butuh kejelasan.
“ Ya ampun Dit, aku lagi makan jangan ngrusak selera makanku donk! kamu tuh jadi aneh ya blakangan ini, mending kamu diem aja nggak usah pake ngungkapin prasaan kamu segala kaya waktu itu, kaya gini jadi berasa nggak nyaman sama kamu!” Seru Prama dengan nada tinggi, begitu ketus, sakit sekali dadaku dibuatnya, aku kontan beranjak dari kantin meninggalkannya saat itu juga.
Prama benar-benar membuatku marah dan kecewa, rasanya lebih baik jika dia menolakku dan aku akan menghilang dari hidupnya, dia sungguh egois.
 Ponselku berbunyi, telpon dari Prama, tapi aku rasa sakit hatiku membuatku enggan untuk menjawabnya. Sudah hampir satu minngu aku menghindarinya, aku begitu ingin menguburnya dari hidupku, tapi tetap saja aku tak mampu, rasa rindu yang dalam selalu menyelimuti, hingga mengalahkan rasa kecewaku.
“ Aku Kecelakaan, Dit, lagi di RS Soetomo, Paviliun Anggrek No. 5A. “
Pesan singkat yang kuterima dari Prama malam itu, mataku terbelalak lebar dari rasa kantuk yang tadinya mendera, dadaku berdetak kencang, saat itu juga aku tarik motorku melaju menuju RS yang Prama tunjuk.
Tidak sulit untuk menemukan kamar Prama dirawat, dari balik jendela kaca aku melihatnya terbaring dengan perban dilengan kanan kirinya, dan perban didagunya.
“Pram...!” Aku memanggil, kakiku berjalan cepat menyeruak masuk kedalam kamar Rumah sakit, bau obat makin kentara menusuk hidungku.
“Dita!” Prama menyahut riang, seraya mencoba bangun dari tidurnya, dia terlihat kesulitan , lalu mengerang menahan sakit dilengannya, mungkin karena terlalu terburu buru, seketika aku menangkap pundaknya, membantunya terduduk.
“ Kok bisa sih Pram??” aku begitu cemas, rasanya ingin menangis menyaksikan kedaan Prama saat ini, tak punya hati dibuatnya.
“ Ehk...ada Dita.” Sapa Ibu Prama yang muncul tiba-tiba.
“ Tante” aku balas menyapa.
“ Itu, Prama jatuh dari motor, ngebut sih, waktu itu Tante suruh dia anterin kue kerumah Dita, ehk...malah begini!” jelas Tante Siwi, Ibu Prama
“ Kan ada Dita, tunggu sini bentar boleh ya, Tante kedepan dulu ambil obat Prama, yah!” Pinta Tante Siwi, aku menggangguk setuju, Beliau lalu beranjak pergi.
“ Aku kualat sama kamu kali Dit!” ucap Prama tiba-tiba.
“ Lha Kok?!” aku mengerutkan dahi, heran.
“ Yah..karena aku bikin kamu marah to? Sampe nggak mau ketemu aku, telpon gak dijawab, sms gak dibales, di BBM dicuekin, tapi akhirnya cara ini berhasil juga buat narik perhatian kamu.”
“ Otak kamu digadein dimana sih? Sarap nih orang!” hardikku tak habis pikir dengan ucapan Prama barusan.
“ Jadi kamu sengaja jatoh gitu?”
“ Sengaja sih enggak, tapi kepikir iya!”
Aku terdiam, menarik nafas panjang, gemas, ingin sekali kujitak habis kepalanya.
“ Jangan gitu lagi donk, Dit, aku takut dicuekin sama kamu seperti kemarin, maafin aku ya?” Seru Prama lirih, dia menatapku tajam.
Perempuan mana yang tidak luluh hatinya kalau sudah begini, aku berjalan mendekat, duduk disamping ranjang Prama yang putih.
“ Hakh... Prama..Prama, kumu bisa bikin aku gila!”  kataku kesal.
“ Jujur ya, kamu begitu penting buat aku, aku sendiri masih belum tahu seperti apa perasaanku untukmu, yang jelas aku nggak mau kehilangan kamu Dit, bersama kamu aku bisa tenang, aku bisa kuat, aku bisa menemukan siapa aku, aku memang tidak yakin kalau ini cinta, tapi aku sungguh takut kehilangan kamu, jadi aku mohon, bersabarlah menunggu, sampai aku benar benar tahu seperti apa persaanku sama kamu!”
Malam itu begitu tenang, meninggalkanku dan Prama yang saling bertatapan.
            Begitulah, kuputuskan untuk menikmati hubungan seperti ini, bersabar penuh harap,seperti yang disampaikan Prama saat itu, aku tahu ini gila, aku bodoh, karena hidup dalam ketidakpastian, aku pun tak lagi memaksa Prama memberikan jawaban tentang perasaanya kepadaku, yang ku tahu, dia masih ada disampingku, bersamaku, itu sudah cukup, sudah membuatku bahagia.
Hingga hari itu datang, di malam yang dingin diantara rintik hujan, Prama membawaku kesuatu tempat yang tak pernah kami kunjungi sebelumnya.
“ Kenalin Dit, ini Gendis!” Seru Prama
Seorang gadis berkulit mulus dan cantik berdiri mengulurkan tangannya padaku, perlahan aku menyambutnya, penuh tanya dibenakku.
“ Hai, Aku Gendis” Sapa Gadis itu
“ Dita!” Balasku
“ Ini sahabat terbaikku Ndis, cewek yang paling aku sayang.” Seru Prama lagi, tanggannya menepuk-nepuk kepalaku ringan.
“ Ohk, gitu!” sahut Gendis, gadis itu menyibak rambut panjangnya yang tersapu angin “ Prama sering banget ceritain kamu, bikin aku cemburu, lho!” lanjutnya.
Tunggu!! Cemburu ? Prama sering menceritakan keberadaanku ? siapa dia, sedikitpun aku tak pernah mengenal gadis ini.
“ Maaf, tapi Prama nggak pernah cerita apapun tentang kamu.” Sahutku penasaran.
“ oya?” Gendis menatap Prama penuh tanya, “ ihk...kamu jahat deh Pram!” geliat Gendis memanja.
“ehm..Gini Dit, aku emang sengaja sih nggak cerita, aku mau langsung tunjukan saja sama kamu, Gendis ini pacarku Dit, kami baru seminggu jadian!”
JEDDEEEER... serasa langit runtuh, aku tak percaya dengan yang kudengar, kuharap ini mimpi, aku terus saja mencubit-cubit lenganku, dengan harapan agar aku bisa terbangun, tapi rasanya lenganku sakit, sakit sekali, dadaku begitu sesak, darahku serasa naik kebun-ubun. Teganya kamu Prama, jadi ini caramu menjawab perasaanku, ini lebih menyakitkan dari sekedar penolakan, atau perasaan digantung tanpa pasti, ini pembunuhan. Jahatnya kau Prama, aku benci kamu, kamu sudah memberikan harapan palsu buatku, untuk apa?
“ Wah..selamat ya!”
Aku menebar senyum, senyum terberat yang pernah kuuntai, senyum tersakit karena penghianatan.
Aku hancur, terluka, setelah malam menyakitkan itu aku bertekat untuk benar-benar pergi sejauh yang kubisa dari hidup Prama, aku ingin menghilang ditelan bumi, kalau saja aku tak takut Tuhan, sudah kuhempaskan tubuhku dari atas gedung yang tinggi, tapi begitu picik jika mati karena cinta, aku memang mahluk terbodoh yang pernah hidup didunia ini, merasa dipermainkan, tentu saja. Kuusap air mataku yang mengalir deras. Mataku begitu sembab hingga sulit melihat. Kupandang cermin dihadapanku, terpantul bayangan gadis buruk rupa, kuambil botol parfum dan kulempar sekeras kerasnya kerah cermin hingga hancur berkeping-keping, aku kembali menangis sejadi-jadinya.

“ Tumben jalan sendiri, soulmatenya mana?” Fadli datang tiba-tiba sambil mendaratkan tepukan kecil dipundakku dan aku paham siapa yang dia maksud soulmate.
“ Emang aku Baby sitter dia?” jawabku ketus, peduli setan dengan si Prama, dia mungkin sedang sibuk dengan boneka barunya yang cantik sekarang.
“ Wiudiiiih...si Putri Salju bisa jadi ratu jahat!”
“ Apa??” pekikku tak terima.
“ Eits...sabar to jenk, biasanya ramah senyum sana-sini, blakangan jadi murung, trus jutek, bukan Dita yang kukenal!” terang Fadli sok akrab.
Oya? Aku berubah jadi ratu jahat? Hahk..hebat sekali liat apa yang sudah dibuat Prama kepadaku!
Fadli terus saja berkicau, entah apa, pikiranku tak bisa menanggkap apapun dari yang dia katakan, imajinasiku masih terus melayang jauh, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang dilakukan Prama dengan kekasih barunya itu kini, tentunya dia tak lagi membutuhkan aku, seseorang yang sempurna sudah memeluknya erat, ahk..aku bergidik sejenak tersadar betapa bodohnya aku, masih saja mengingat dia yang begitu jahat memperlakukanku. Menyajikan harapan kosong , Prama...apa niatmu sebenarnya, kenapa memperlakukanku seperti ini? Apakah karena wajah cacatku ini yang menghalanginya untuk lebih jauh menjalin hubungan denganku, menghalangi perasaannya yang sesungguhnya. Kukejap-kejabkan pelupuk mataku yang mulai panas tergenang air mata.
“ Lho kenapa Dit? Kamu nangis? ” kata Fadli yang sedari tadi masih kuacuhkan keberadaannya disampingku.
“ Fad, jawab jujur ya, apa wajahku ini mengerikan?” Ahk...sungguh pertanyaan bodoh yang tak perlu kusampaikan pada Fadli.
“ Kenapa sih, kok tiba-tiba tanya begitu ?” jawab Fadli, mimiknya kebingungan dengan pertanyaan bodohku, Tentu saja wajahku ini mengerikan, kenapa masih saja aku tanya, bagaimana tidak mengerikan jika luka bakar terpampang jelas, aku saja yang tak tahu diri, yang berharap bisa memiliki Prama, padahal aku tak pantas memiliki siapapun. Air mataku tiba-tiba makin mengalir deras, tak terbendung lagi.
“Astaga Dit, kamu kenapa Dit, kok malah nangis ?!” Fadli malah salah tingkah, makin kebingungan.
Aku menyapu air mata yang jatuh dipipi, betapa bodohnya kupikirku.
“ Aku salah ngomong ya, Dit?” tebak Fadli, aku menjawab dengan menggeleng pelan.
“ Sorry, ya Fad!” seruku lirih.
“ Kamu kenapa sih Dit ? aku boleh tahu?” desak Fadli
“ Aku nggak bisa liat cewek nangis, aduh, gak tahu harus ngapain! Ehk tapi bener kan bukan gara-gara aku salah ngomong?” Fadli kembali memastikan.
“ Nggak bukan kamu, aku cuma ngerasa, aku ini jelek banget, menyeramkan kaya monster!”
“ Astaga Dit, kok bilang gitu sih, ada orang yang ngejek kamu ya? Sini mana orangnya, biar aku tabok mulutnya!” Seru Fadli penuh emosi, hingga bangkit dari posisi duduknya.
Fadli perlahan duduk kembali keposisinya, teruntai senyum kecil dibibirnya
 “ Dit, bohong kalau aku bilang wajah kamu semulus Syahrini, semua juga tahu kan? Tapi terlambat sekali rasanya kalau kamu mempermasalahkan itu sekarang, bukannya selama ini kamu toh tetap enjoy, Pede, sampai-sampai luka diwajah kamu ini nggak terlihat lagi dimata kami, kamu selalu ceria, kami semua salut sama kamu malah, luka itu juga jadi semacam identitas yang membawa kamu kepopularitas, siapa yang nggak kenal Dita..”
“ Dita yang mukanya cacat kebakar??” sahutku ketus
“Lho..lho..bukan gitu maksudku.” Elak Fadli gugup.
“ Sudahlah Fad!!”
“ Kamu cantik kok Dit, Serius, Sungguh!” Tiba-tiba Fadli meraih tali rambutku, melapaskan ikatannya, membuat helai demi helai tergerai
“ Tuh...Cantik! ” Serunya lirih, untuk beberapa saat kami saling terpatung memandang  aku jadi kikuk.
“ Anterin aku kesalon, yuk!” Pintaku.
 Fadli menggeleng seraya tertawa kecil, kubuat heran dengan ulahku.
“ Siap, Tuan Putri!!!”
Tak menunggu lama kuraih lengan Fadli , kami berjalan beriringan,  Sepertinya aku harus mengubah penampilan, hasil karya salon kecantikan pasti cukup membantuku, setidaknya aku bisa melepas sedikit rasa sakit hati ini. Terima Kasih Fadli. Sesampainya lapangan parkir, Fadli merogos sakunya, mengambil kunci motor, mataku kemudian menangkap pemandangan yang sangat akrab dimataku. Prama, lekali itu berjalan mendekatiku dan Fadli.
“ Dit, Kemana aja sih, kamu ngilang terus!!” Prama seketika menyambarku dengan pertanyaan.
Aku mencoba untuk tenang.
“ Lho ngapain nyari aku, kan ada Gendis?” Sahutku
Kening Prama berkerut, matanya memicing, seolah dia paham maksud ucapanku tadi. Dia pasti tau aku sedang marah, kecewa, dan cemburu.
“ Kamu marah aku jadian sama Gendis? Kamu Cemburu?” Ucapan Prama sungguh tepat saran, yah...begitu donk, kamu tahu perasaanku.
“ Gak Cuma itu, aku sakit hati Pram..” Timpalku ketus
“ Seenak jidatmu kamu mempermainkan aku, memberi harapan, menyuruh aku menunggu sampai kamu tahu jelas perasaan kamu sama aku, tapi kamu menjawab dengan sangat pengecut!” dadaku terasa sesak dan panas, tenggorokanku bagai tercekit saking emosinya.
Prama meraih tanganku
“ Apa sih, lepasin!!!” Pekikku
“ Hei..hei..slow..guys slow!! Sabar, aduh jangan berantem diparkiran gini, malu kan?!” Fadli yang sedari tadi kebingungan menyaksikan tontonan yang kami suguhkahn segera melerai.
Aku mengusap air mataku yang jatuh sekali lagi.
“ Fad..yuk kita pergi!!” Aku bergegas beranjak dari tempatku berdiri
“ Dit, Tunggu, kita harus bicara!” tahan Prama.
Aku tak mau peduli lagi, sudah cukup aku menjadi mahluk tolol didunia ini. Fadli mengikutiku, dia lalu menyalakan motornya, aku spontan naik keboncengan tanpa menunggu lama dia segera menarik gas menjauh meninggalkan Prama.
“Tuuuh kan, kamu berantem sama Prama!” Ujar Fadli ditengah perjalanan, aku hanya diam, masih sibuk menghapus air mataku yang masih saja jatuh.
“ selesaikan dulu, Dit, jangan dibiarkan ngambang begitu nggak baik!” lanjut Fadli
“ Udah selesai kok Fad, sudah selesai!” aku menjawab tegas.
Benar saja, cerita tentang aku dan Prama sudah selesai , Tak ada lagi Prama dalam hidupku, aku lalu menghilang, jauh, berusaha menghapus jejakku dari hidupnya sejauh mungkin.
Hari pun berganti bulan, bulan berganti tahun, empat tahun sudah kujalani tanpa sosok Prama, setelah menyelesaikan study Srata satu dikota lain, nasib baik kemudian mengantarkanku bekerja disalah satu perusahan rokok terbesar di Indonesia, Karirku begitu cemerlang sehingga penghasilanku mampu merubah perekonomianku secara drastis, memberi cukup dana untuk menutup luka bakar diwajah ini dengan operasi plastik yang menyakitkan, bagi sulap hasilnya mengembalikan lagi kecantikanku yang sempat terengut. Kini aku sudah berubah, bukan Dita si perempuan buruk rupa dan cacat lagi. Tapi anehnya, luka dihatiku masih juga tidak berubah, Prama benar-benar telah menggoreskan trauma dalam cerita cinta ini, membuatku jera.
Malam sudah semakin larut ketika aku melangkah gontai keluar dari mobilku untuk mendorong pagar rumah hingga terbuka.
“ Dita!! ” Panggil seseorang dari belakang punggungku, aku menoleh.
“Prama!! “ Pekikiku, tak percaya rasanya, seseorang itu adalah Prama.
Dia berjalan mendekat, wajahnya makin jelas terlihat dibawah sinar lampu jalan.
“ Apa kabar, Dit ?! ” lanjutnya
Aku hanya terdiam seribu bahasa, apakah aku sedang bermimpi, kalau iya, aku tidak ingin terbangun, sekalipun lelaki ini telah menorehkan luka yang begitu dalam, tapi...aku tak bisa membohongi hatiku kalau masih aku begitu merindukannya, mataku terbelalak lebar melihat kehadirannya yang makin jelas dihadapanku kini.
“ Kamu cantik sekali sekarang! ” dia makin mendekat, hingga tepat berdiri beberapa jengkal dari hadapanku, dengan lembut jemarinya menyentuh wajahku, wajahku yang kini mulus tanpa bekas luka, aku terdorong untuk menyambut jemari hangat yang kini menyentuh wajahku itu, kugenggam erat. Ya Tuhan, Prama, aku begitu merindukannya.
Seketika dia merengkuhku dalam pelukannya, begitu hangat, erat. Aku gemetar hebat, hingga lututku lemas. Kenapa?? Ohk...Dita kenapa kamu kembali menjadi mahluk yang bodoh, lupakah kamu bagaimana dia menyakitimu??!
 “ Aku kangen sekali sama kamu, Dit! ” Prama berbisik, sungguh ingin melepas pelukannya yang makin erat, tapi...aku tak kuasa, tubuhku seakan menginginkan pelukan itu tak terlepas.

            Segelas Kopi kusuguhkan diatas meja, sembari menyodorkan beberapa kaleng kue kering, Sejenak mata kami saling bertatapan, tanganku masih saja gemetar terbawa perasaan yang tak menentu, mengingat beberapa menit yang lalu tangan itu baru saja merengkuhku dalam dekapannya. Prama terlihat lebih dewasa dari Prama yang kukenal empat tahun lalu, Dia membiarkan jambang ditepi wajahnya tumbuh, membuatnya makin gagah, rambutnya yang ikal ditata lebih cepak rapi.
“ Susah sekali menemukan kamu, kenapa kamu begitu saja tanpa alasan sedikitpun! ” dimemulai pembicaraan.
“ Bagaimana bisa menemukanku?” tanyaku penasaran.
“ Dari Vika, setelah aku menceritakan segalanya, dia baru mau buka mulut! ”
Akh..Vika, tentu saja beberapa bulan yang lalu kami bertemu disuatu seminar.
“ Kamu,mengoprasi wajah kamu?” Lanjut Prama, matanya masih terus menatapku tajam.
Aku menggangguk pelan, Prama menarik nafasnya.
“ Setidaknya aku tidak lagi membuat seseorang ragu untuk menyatakan perasaannya padaku.” Jawabku ketus.
Prama menggeleng, lalu tertunduk sedih.
“ Maafkan aku Dit, Maafkan aku, saat itu aku tak tahu kalau aku sudah begitu bodoh dengan keputusanku sendiri, saat itu aku masih bimbang Dit, setelah kamu pergi baru aku tahu betapa kamu sangat berarti untukku.”
“ Gombal kamu!” Protesku “ Trus Gendismu mau kamu kemanain?” aku menyambung
“ Sudah putus Dit, gak berapa lama setelah kamu ninggalin aku, dia cemburu banget sama kamu, malah dia yang nyuruh aku nyari kamu! Dia menyadarkan aku akan perasaanku padamu.”
“ Jadi sekarang perasaan kamu keaku gimana?” sambarku, ada rasa penasaran menggeliat.
“ Aku sayang kamu, aku tidak mau kehilangan kamu lagi, dan sejak awal aku tegaskan, luka diwajahmu tidak pernah jadi penghalang, sekalipun detik ini tiba-tiba wajahmu kembali seperti dulu, aku tetap mau kamu jadi milikku!”
Sungguh tegas ucapan Prama, bagai air yang menyegarkan dahagaku selama ini, mengobati luka hati yang sekian lama kupendam. Sepenuh hati aku menerimanya kembali, kali ini, sebagi milikku, milikku.
            Bulan pertama, kedua berlalu mulus, mengijak bulan ketiga riak kecil mulai berdatangan, Empat tahun terpisah dengan Prama bukan waktu yang sebentar untuk mengubah dirinya, banyak sisi Prama yang dulu kukenal menghilang, tabiatnya pun berubah kasar, dan tak lagi ingin selalu ada untuk melindungiku seperti dulu, ketika wajahku masih buruk karena goresan luka bakar. Dia sering cemburu tanpa alasan, dan  cenderung lebih bersikap acuh. Blakangan dia justru sering membuatku kecewa , membuatku sakit hati karena ulahnya.
“ Aku merindukan hubungan kita yang dulu! ” Seruku penuh emosi, akhirnya aku sudah tak tahan lagi.
“ Terserah Dit, aku juga sudah capek!” Ucap Prama lemah.
Aku menangis sejadi-jadinya sekali lagi, sekali lagi hatiku terluka karena nama yang sama.
*************::::::::::***************
Siang itu gerimis turun membasahi bumi, menyebarkan bau wangi tanah, aku bergegas menuju restoran kecil yang ditunjuk Prama, aku mengiyakan niatnya untuk bertemu ditengah hubungan kami yang menegang, dengan masih menyimpan harapan kecil dihatiku, untuk bisa memperbaikinya.
“ Ada kalanya hubungan sepasang laki-laki dan perempuan berjalan sangat  sempurna hanya dibatas garis persahabatan saja, tidak lebih. “ Seru Prama, sambil memutar-mutar cangkir kopi ditangannya.
“ dan aku yakin kita ada didalam posisi itu, aku begitu nyaman berada didekatmu ketika status kita sahabat, tapi begitu aku menjadikanmu milikku, aku justru tidak tenang, ada rasa kesal ketika kamu tidak ada disampingku ketika aku butuh, aku cemburu pada siapa saja yang mendekatimu, karena dalam benakku, kamu hanya milikku, aku tidak pernah rela ada sepasang mata liar lelaki yang memandangmu lebih dari sedetik.” Prama behenti berucap sejenak, menyrutup kopinya perlahan.
“ semua itu membuatku gila Dit, aku seperti kehilangan akal sehat, jadi uring-uringan, dan malah menyakiti kamu, aku tidak mau mencintaimu seperti ini Dit.” Sambungnya, begitu serius, mata tajamnya sekilas berkaca tak kala menuturkan kalimat terakhir.
“ sebelum kita lebih jauh melangkah, sebelum aku lebih banyak menyakitimu, mungkin...sebaiknya kita akhiri saja!” Prama kembali melanjutkan.
Aku terbisu, tak sepatah katapun mampu kuucap, rasanya waktu berhenti berputar, segalanya gelap, walaupun aku begitu ingin memilikinya selamanya, namun ucapan Prama benar, cinta seperti ini justru akan membunuh kami.
“ Dit, aku sangat mencintai kamu, aku sungguh tidak mau kehilangan kamu, tetaplah disampingku Dit, tapi...sebagai sahabatku yang selalu aku banggakan seperti dulu! ” Pinta Prama, digenggamnya jemariku erat, aku masih terduduk dan bungkam,mataku menerawang jauh, jiwaku seolah melayang-layang, hubungan cinta ini tidak berhasil.
Waktu pun menjawab, pada akhirnya kami tetap bersama tapi dengan status, sahabat saja. Diwaktu luang kami bertemu, bercanda tawa seperti dulu kala, Prama kembali begitu lepas, menjadi sosok yang hampir kukenal kembali. Kami lebih menikmati hubungan seperti ini, Teman tapi Mesra, hehe.
Malam itu Prama masih asik dengan ponsel ditangannya, sambil mendengarkan cerita keseharianku sepanjang siang tadi, sesekali dia menimpali dengan candaan konyol.Tak lama siPonsel berbunyi, dia pamit sejenak untuk menjawab panggilan itu, beberapa menit kemudian dia kembali.
“ Siapa Pram?” aku bertanya penasaran.
“ Ehm...Gendis!” jawab Prama kaku.
Jujur saja aku cemburu begitu tahu siapa si penelpon itu, tapi aku tak mau lagi larut, secepat kilat aku mengembalikan diriku pada porsiku dihidup Prama.
“ Kalian dekat lagi toh?” cerocosku
“ Dit, Gendis ngajak aku balikan, gimana menurut kamu?”
Nyawaku terasa melayang saat itu, ingin sekali aku berteriak kerasa dan bilang, JANGAN!! Jangan dia, kenapa harus dia?
“ Kalau kamu nyaman sama dia, kenapa enggak?” seruku, akhirnya
Prama tersenyum lega, menyiratkan perasaan dihatinya, perih sekali rasanya hatiku.
Dan Tepat sebulan kemudian, hubungan mereka terjalin kembali, hubungan mereka juga tidak terlalu mulus, tapi Gendis seakan memiliki daya tarik tersendiri untuk Prama, magnet cintanya bener benar mengikatnya kuat.
Gendis pun menjadi sosok yang tepat untuk Prama, meskipun sesekali Prama masih terus menghubungiku untuk sekedar berbagi cerita disela jam makan siang. Aku cemburu sekali ketika suatu kali sempat berpasan dengan mereka disalah satu pusat perbelanjaan, Kulihat Prama merangkul Gendis dengan lembut seolah gadis itu hanya akan aman disampingnya. Hahk..aku berharap akulah yang ada direngkuhan lengan Prama yang kekar itu.

“ Kami akan menikah Dit, doakan kami yah! Ini undangannya, kamu harus datang!”
Ujar Prama suatu sore yang hening, hanya ada aku dan dia saat itu. Pelupuk mataku terasa panas. Prama yeng menyadari gelagatku yang berubah, serentak meraih tanganku, digenggamnya erat.
“ aku sayang kamu, Dit, sungguh! Dan aku tahu hatimu, kita sudah pernah mencoba untuk menyatukannya, tapi...malah melukai kita berdua, aku tau ini egois, tapi aku hanya ingin kamu tetap disampingku dengan cara yang lain.”

 Kini, aku terkulai lemas diatas kasurku, memandang langit-langit kamar, sembari mengingat kembali kata-kata yang penah Prama sampaikan kepadaku dulu “ Ada kalanya hubungan sepasang laki-laki dan perempuan berjalan sangat  sempurna hanya dibatas sahabat saja, tidak lebih.”
Hubungan cinta seperti yang kami jalani ini, memang tidak bisa mudah dimengerti oleh siapapun. Tapi...inilah kenyataanya.
 Prama, semoga kau selalu berbahagia, aku yakin aku akan menemukan, someone like you, yang memang tercipta untukku.


Surabaya, 24 June 2013
The Boombastis Kiara
Thanx for Good Friend Somewhere out there
Who bring me some Inspiration