SOMEONE
LIKE YOU, I WISH...
Never
mine I’ll find someone like you
I wish
nothing but the best for you
Don’t
forget me
I begged....
I’ll remember
you say
Sometimes
it last in love
But
sometimes it hurt instead...
Sometimes
it last in love
But
sometimes it hurt instead
Yeah...yeeeee..
Tepuk
tangan para tamu undangan riuh bergema, seiring langkahku menuruni panggung
yang tepat berhadapan dengan kursi pelaminan seseorang yang hingga detik ini
masih mengisi relung hati terdalamku, menyisakan perih yang teramat sangat
menyaksikannya bersanding mesra dengan perempuan yang dia pilih. Mencoba
membohongi hatiku dengan berkali-kali memakukan kata, aku bahagia jika kau
bahagia, ya cuma itu yang aku bisa, mencoba untuk terus mengembangkan senyum,
menyumpal agar air mataku tak menetes karena hatiku yang sudah luluh lantak
saat ini. Dengan sisa tenaga yang kupunya aku berjalan menghampiri kedua
mempelai yang saat ini sedang berada dipuncak asmara itu.
“
Selamat ya Prama!” Kugenggam erat jemari sang pujaanku itu, Ya Tuhan..ingin
sekali aku menculiknya, menyembunyikannya dalam benteng yang tinggi, dan hanya
aku yang tahu, menjadikannya milikku, milikku.
“
Makasih Dit, Makasih sudah datang, suara kamu indah sekali!” bisiknya lembut.
Aku
tersenyum, kualihkan pandanganku pada Gendis, perempuan yang mampu memenangkan
hati Prama-ku, yang sedari tadi menatap cemas, dia jelas tak mengaharapkan
hadirku dihari istimewanya ini, karena dia tahu pasti akan hubunganku yang
rumit dengan lelaki yang kini telah menjadi suaminya itu.
Rumit??
Ya...sungguh rumit.
“
Selamat ya Ndis, semoga rumah tangga kalian diberkahi Tuhan, selamat, kamu
beruntung memiliki Prama!” Bisikku disela pelukan kami.
“
Makasih Dit Doanya, aku berharap kamu segera menemukan seseorang yang
diciptakan Tuhan buat kamu, terima kasih restumu untuk kami, terima kasih sudah
menjaga Prama selama ini, mulai sekarang aku yang akan menjaga Prama!” Bisikan
Gendis terdengar seperti halilintar yang menggelegar ditelingaku sekalipun
itu sangat lembut dan hanya aku yang
bisa mendengarnya.
Kulepaskan
pelukkanku darinya, kutatap dia dan kugenggam jemarinya, kuanggukkan kepalaku,
bersama itu pula aku melangkah jauh dari kehidupan seorang Prama, selamanya.
Sempurna
sekali, rintik hujan turun makin deras menyirami langkahku, seolah mengamini perasaanku
yang kacau sedari beranjak dari gedung pesta hingga tepat kuhempaskan tubuh diatas
kasurku yang empuk, menangis sejadi-jadinya, kecewa, marah, sedih yang tak
berujung campur aduk sudah, membawaku menerawang jauh kemasa rumit itu,
masa-masa yang menghadirkan Prama dalam hidupku.
Pertemuanku
dengan Prama dimulai ketika aku duduk dibangku SMA pada tahun pertama, takdir
mempertemukan kami dalam satu kelas saat itu. Sosok Prama yang dingin
menggodaku untuk lebih jauh mengenalnya, Prama dianugrahi wajah hampir sempurna,
matanya sipit namun ia memiliki tatapan tajam dan magis, tulang hidungnya
tinggi dan mancung, bibirnya penuh, giginya kecil-kecil berderet rapi,
rambutnya ikal dan tubuhnya tinggi tegap. Kulitnya putih bersih. Masih ingat
Rangga cowok pujaan Cinta dalam film remaja terbooming ditahun 2000-an berjudul
ADA APA DENGAN CINTA??, ya...Prama adalah sosok Rangga dalam kehidupan nyata.
Entah suatu kebetulan atau tidak, Prama memiliki tabiat yang sama persis dengan
Rangga, remaja yang begitu dingin,dan berusaha mengisolasi dirinya dari dunia,
disaat aku dan teman-teman dikelasku asyik dengan hiruk pikuk masa SMA, dia
hanya duduk diam dipojok kelas, sambil sesekali tersenyum kecut. Prama begitu
tertutup, tak banyak yang kami tahu tentang dirinya. Itulah yang membuatku
makin penasaran akan sosoknya.
Ditengah
pelajaran aku sering mencuri pandang, rasanya Prama memiliki sonar yang kuat
untuk membuatku selalu ingin memperhatikan keberadaannya. Sampai, akhirnya aku
mulai sadar kalau aku jatuh cinta, iya...Prama sudah membuatku jatuh cinta.
“ Dit,
boleh pinjem PR kamu?” seru Prama, ini pertama kalinya dia bicara denganku
setelah sekian lama, disuatu pagi ditengah hiruk pikuk suara teman-teman yang
lain, adat istiadat anak Indonesia, pagi buta datang kesekolah saling mencontek
PR kemarin.
Ahk...
akhirnya dewi fortuna menyentuh pundakku, kesempatan seperti ini tak akan aku
sia-siakan.
Tanpa
pikir panjang aku mengiyakan dan menyerahkan buku PR-ku padanya. Dalam hati aku
berkata, jangankan PR hatiku pun kau minta akan aku berikan, hahaaai.
“
Makasih ya!” seru Prama lagi, masih dengan ekspresi dingin yang membuatku makin
geregetan.
Aku
tersenyum simpul.
Beberapa
lama kemudian, Prama menyelesaikan Pekerjaan Rumah hasil contekannya itu.
“ Ini bukunya,
makasih!” Ujar Prama singkat.
Haaahk.. ini orang lahir dari es kutub apa ya?
dingin banget??
“ Lupa
ya nggak ngerjain PR-nya?” aku menimpali, mencoba memberanikan diri, jantungku
berdebar kencang seperti mau berlari keluar dari rongga dadaku.
“ Nggak
bisa, PR-nya susah!” jawabnya enteng.
“
Ahk...gampang kok, aku ajarin ya?” tawarku sok genit
“ Lain
kali aja, Males!”
Skak
Math untukku, Busyeeeet deh.
Satu persatu kutelanjangi berita
yang akan ditempel di dinding sekolah, hari itu adalah giliranku yang bertugas
mengedit karya para siswa yang dikirim kemeja redaksi Tim Mading tempatku
bernaung, hingga pada satu karikatur yang begitu menarik perhatianku, gambar
yang lucu, gumanku. Mataku tak henti mengagumi, siapa sipelukisnya? Disudut
bawah terpampang semu, Pramadya Adiguna. Astaga...nama itu sungguh tidak asing,
benar saja, karikatur itu hasil karya Prama.
“ Pram,
ternyata kamu pinter nggambar ya?” sapaku sok akrab disela waktu istirahat,
seperti biasa, siang itu Prama masih duduk dengan tenang dipojok kelas.
Prama
hanya memandangku dingin, yaaaa...masih sedingin gunung es, masih seperti
biasa.
“ Tadi,
aku pasang karikatur kamu di mading lho!” aku tak menyerah
“ohk!” ia menjawab, singkat.
hiyaaaaaaaa....rasanya
ingin kuteriaki kupingnya, HAI...!!! CAN YOU SEE ME!!! IAM HERE !!!!
sudah
dua menit aku mematung dihadapannya, tanpa respon, cowok es itu malah asik
dengan komik ditangannya, aku menarik nafas kalah...Huuufft... aku mendesah
kesal.
“
Kenapa?” Seru Prama tiba-tiba, dia bisa menangkap mimik kesal yang terpampang
diwajahku.
“ Kamu dingin banget sih Pram ? kamu ada masalah hidup ya? “ aku menyambar, mulai terbawa emosi karena diacuhkan tadi atau mungkin juga muak dengan sikap esnya itu.
“ Kamu dingin banget sih Pram ? kamu ada masalah hidup ya? “ aku menyambar, mulai terbawa emosi karena diacuhkan tadi atau mungkin juga muak dengan sikap esnya itu.
“ Kamu
ada masalah sama aku?” Sicowok es itu
balik bertanya, wajah putihnya memerah garang.
“ Iya,
ada! Aku ngajak ngomong malah dicuekin, gak sopan banget sih kamu?” Kataku
dengan nada meninggi.
“ Aku
nggak nyuruh kamu ngajak ngomong aku!” Jawabnya ketus, sialan...makiku dalam
hati
“
Ihk...kamu itu turunan alien apa gimana sih, dah aneh...”
BAAAAK...!!!
belum selesai aku bicara komik ditangan Prama meluncur pasti menghentak meja
dihadapan kami. Dia lalu berdiri dan berhambur pergi meninggalkanku yang hanya
bisa terpaku, seperti mendapat shock terapi disiang bolong. Air mataku menetes
tanpa kusadar.
“ Dita,
ada temen kamu didepan!” seru ibu didepan pintu kamarku.
“
Hahk..siapa, Bu?” tanyaku penasaran
“
Cowok, cakep lho, katanya sih namanya Prama!”
WHAAAAAT?????
Prama??
Apa yang dia lakukan dirumahku? Serius yang datang itu Prama?, aku langsung
menerjang keluar kamar, tak percaya yang kulihat, kucubit lengan kananku,
auuugh...ini bukan mimpi, benar saja, Prama sedang duduk kaku diruang tamu
rumahku.
“
Pram!” aku menyapa.
“
Ehk..Dit !” Prama beranjak dari posisi duduknya,menyambutku.
“ Ada
apa, Pram?” tanyaku gusar
“ Aku
mau minta maaf, atas sikapku tadi siang disekolah, sorry aku kasar sama kamu!”
HAAHHK..??
jangan sampai deh besok matahari terbit dari barat setelah peristiwa ini.
“
Oohkkkkh...” kataku pelan
“ Maaf
ya, aku sampai bikin kamu nangis!”
Weeeeeii....dia
tau aku nangis gitu?? HAAAAA
“ Nggak
papa kok, aku cuma...shock aja kali ya? Abis selama ini nggak pernah ada orang
yang bertingkah aneh begitu padaku.”
“ Emang
aku aneh banget ya buat kamu?” tanya Prama, air mukanya berubah sangat serius.
Aku
tersenyum, mengangguk pelan, aku harus jujur kali ini, aku berharap dia bisa
lebih mencair setelah ini.
“ Bukan
buat aku aja sih, temen-temen dikelas juga sering ngomongin betapa dinginya
kamu, nggak mau bersosialisasi, menyendiri, seperti kamu punya beban hidup yang
berat.”
Prama
terdiam, matanya menerawang jauh.
“ Ayah
Ibuku akan segera bercera, Dit!”
Ya
Tuhan, tubuhku bergetar hebat mendengar pernyataan Prama yang tanpa basi-basi
itu, ahk..pantas saja, jadi ini sebabnya, siapapun yang diposisi Prama dengan
usia semuda kami saat itu tentu saja akan terguncang karena tidak akan mudah
menerima ini.
“
Aku..., Hik..Hik..!” Pecah tangis Prama ketika itu, seperti ada luka dalam yang
tertumpah ruah, aku hanya bisa terdiam memandangi, bingung, namun ingin sekali
menengkannya dalam pelukku.
“ Sabar
Pram, tetaplah berdoa mohon yang terbaik pada Tuhan, apapun yang akan terjadi
nanti, yah..ini pasti nggak mudah buat anak-anak seperti kita, tapi jika
bercerai memang jalan terbaik untuk orang tua kita, kita hanya bisa berdoa
mohon kekuatan, setidaknya Tuhan tidak akan menguji hambanya dibatas
kemampuannya kan?”
Prama mulai
tenang, perlahan ia mengusap air mata dipipinya, sembari menarik nafas panjang.
“ Maaf, harusnya aku nggak cerita masalah keluargaku sama kamu, aku konyol
sekali!” Lanjutnya.
“ Nggak
papa Pram, sante aja, kapanpun kamu mau meluapkan semua perasaan kamu aku siap
dengerin!”
Prama
menatapku, aku bergidik
“
EEEhkhkk..dan aku nggak akan ember! SUER DEH!”
Prama
melemparkan senyumnya, yah...senyum terindah yang pernah kulihat.
“
Makasih ya Dit! ”
Sejak kedatangan Prama dirumah, kami
jadi semakin akrab, gunung es yang ada dalam dirinya pun ikut mencair, dia
mulai bisa beramah tamah, bercanda tawa lepas dengan teman-teman yang lain, sikapnya
mulai jauh berubah, tak ada lagi Alien yang menatap aneh dipojok kelas. Itu
membuatku senang.
Tapi, aku
sangat sedih ketika akhirnya orangtua Prama bercerai, malam itu Prama kembali
datang kerumah dengan wajah yang begitu lusuh, suaranya dalam tercekit menyampaikan
kabar buruk tentang perpisahan Ayah Ibunya kepadaku, sepertinya Prama cukup
merekam kata-kataku saat itu, bahwa aku akan menjadi pendengar yang baik
buatnya, ada rasa bangga disudut hatiku, aku merasa berarti untuk Prama, dan
perasaan manis yang sudah lama kupendam itu makin menyeruak indah menghiasi
seluruh relung kalbuku. Sejak saat itu,kami makin dekat dan rasa itu...makin
bertumbuh subur dihatiku, Aku makin mencintai Prama.
“ Udah
Dit, bilang aja sama dia, sampai kapan kamu diem?!” seru Vika, Vika dan aku berasal
dari SMP sama, kami mulai dekat sejak tahun pertama kami duduk di SMA, Vikalah
orang pertama yang tahu isi hatiku untuk Prama.
Ini
sudah tepat di tahun kedua aku menyimpan perasaanku pada Prama, aku tak pernah
berani menyatakannya, sekalipun Prama selalu didekatku, selalu ada untukku.
Sehingga aku hanya bisa menjadi sosok
yang paling dia percaya, sosok yang bisa dia andalkan, sosok sahabat,
ya...hanya sahabat.
“ Tapi
Vik, Prama nganggap aku cuma sahabatnya!”
“ Ya
elah...Dit, itu karena kamu juga bertingkah begitu didepan dia! Makanya kamu
harus tunjukin kalau kamu tuh punya rasa yang lebih dari sekedar sahabat!”
celoteh Vika gemas.
“ Takut
Vik, nanti..kalau ternyata dia cuma angap aku sahabat doank gimana? Ntar aku
malah kehilangan dia, aku nggak mau akh! Biar begini aja!” Elakku
“
Ditaaaaaa!!! Open your mind! Ntar diambil orang baru tau rasa!” ancam Vika
“Vik...kamu
liat aku baik-baik deh!” aku meraih wajah Vika, kuarahkan tepat dihadapanku
“
Liat!! Aku ini cacat, jelek! kalau aku secantik
kamu, sudah dari dulu aku bilang sama Prama kalau aku suka dia, aku cukup tahu
diri, Vik!” kataku lemas.
Aku tak
sempurna, sepuluh tahun lalu aku dan keluargaku mendapat musibah, rumah kami
terbakar, api membakar dahi, telinga hingga setengah pipi kiriku,melelehkan nya
dan membekaskan luka jelas diwajah, bekas itu hanya bisa tertutup dengan
operasi plastik, tapi Ayahku yang hanya seorang karyawan pabrik lepas, tak bisa
berbuat apa-apa.
“ DITA..LOVE IS BLIND! LOVE COMES WITH NO
REASON, LOVE JUST LOVE!!” Tegas Vika.
Memang Ada
benarnya yang dikatakan Vika, tapi aku tak punya nyali untuk melakukannya,
setiap kali bercermin, rasanya topan besar menghempaskanku, membuatku mundur
berjuta langkah, aku tak akan pernah pantas bersanding dengan Prama yang sempurna.
Akhirnya saat kelulusan tiba, dimana
hubunganku dengan Prama tak beranjak sedikitpun, ketika aku hanya cukup menjadi
pendengar setianya dan dia makin menjadi sosok impianku, bom waktu seolah
hendak meledak, lama-lama aku sudah tidak bisa lagi menyimpan perasaanku ini,
akhirnya aku beranikan diri untuk mengungkapkan juga rasa hatiku padanya, aku
kumpulkan seluruh nyali, kupikir inilah saat yang tepat, toh Prama pernah
bilang, kalau dia akan meneruskan pendidikannya ke Perguruan Tinggi diluar Kota
setelah lulus, kunyatakan atau tidak toh Prama tetap akan meninggalkanku, tak
ada bedanya. Apapun yang akan terjadi nanti, aku siap! Karena menyimpan
perasaan cinta sendiri, terasa bagai menggenggam bara yang makin lama makin
membakar. Kata-kata Vika terus terngiang ditelinga, Love is blind, love comes with no reason LOVE
JUST LOVE.
“ Apa??
HAHAHHHAHaa”
Itu
jawaban yang keluar dari mulut Prama sesaat setelah aku beranikan diri untuk
menyatakan perasaanku, dia malah tertawa terbahak bahak membiarkanku yang berdiri
kaku dihadapannya.
“Prama,
kok malah ngakak sih!” aku menggerutu kesal
“
Hahahaha, jangan becanda deh Dit, nggak lucu ahk, hahaha!” Prama masih saja
terbahak-bahak, menepuk nepuk lututnya, hingga air mata keluar, entah kenapa,
sepertinya hal ini terlihat begitu lucu baginya.
“
Prama, aku serius, aku suka kamu, aku sayang!”
“
Iya..iya..aku tau, aku juga..suka sama kamu, sayang, kikiiikkkkiik.” Sambungnya
sambil masih menahan tawa, aku mulai gerah dengan sikapnya itu.
“Ya
udah ahk, ketawa sana sampe mampus, aku pergi!” Aku Marah.
“Ehk..ehk..Dit!!”
Prama menyambar tanganku “ Iya maaf deh.”
“
Pram...aku serius, aku sudah lama memendamnya!”
Pelukan
hangat Prama tiba-tiba mendarat ditubuhku, membuatku terbujur makin kaku saking
terkejutnya.
“ Iya,
aku tahu kamu sayang aku, aku nggak sebodoh itu, Dit!”
yah...cukup
sampai disitu jawaban Prama, tak ada lagi kelanjutan cukup beberapa kalimat itu
saja.
Rumit,
hubunganku dan Prama akhirnya berjalan tanpa status, dibilang pacaran tidak, tapi
mesra iya, setidaknya ada rasa lega,
setidaknya pula dia tahu perasaanku padanya, setidaknya ada harapan untuk
memilikinya lebih dari seorang sahabat, yah...setidaknya.
“ Lhoh...nggak
jadi kuliah di Jogja?” aku terkejut
mendengar keputusan Prama suatu sore, bukankah sebelumnya dia begitu
mengiimpikan kota itu untuk meneruskan pendidikannya?
“Akh..enak
disini ajah deh Dit, deket Mama, kasian Mama kalau sendirian !” setelah
perceraian kedua orang tuanya Prama memilih untuk tinggal bersama ibunya.
“ Yaaaaaaa,
biar tetep deket kamu juga sih,hehehe!” dia menggoda.
“iiihkh..apaan sih?”
“ Ntar
siapa yang ngomelin aku, Prama jangan begini, Prama nggak boleh ini..itu ? Trus
yang mo nemenin aku nonton siapa?” celoteh Prama.
“
Jangan gitu deh, mo bikin Ge er, mentang-mentang tau gitu kalau aku sayang ma
kamu?” sahutku ketus.
“ idih
kok...sewot ?!”
Lalu
Kujitak kepalanya keras.
Menggantung, kenapa lama-lama aku
merasa ini tak adil, aku tak pernah tahu apa yang dirasakan Prama kepadaku, tak
pernah ada keputusan, apa dia sedang mempermainkan aku? Atau...karena...dia
hanya tidak mau membuatku kecewa atas penolakannya
nanti??
“ Kamu
anggap aku apa sih Pram? ” Tanyaku serius suatu hari didepan kantin kampus ketika dia berkunjung menemuiku selepas
kuliah.
“ Udah
deh Dit, nggak usah ngomong yang macem-macem, yang penting kita selalu bersama,
sudah cukup kan?” jawab Prama santai sambil terus menyantap semangkok mie ayam
kesuakaanya.
“Kamu
malu kalau punya pacar berwajah cacat ya?” aku pantang menyerah, tentu saja,
aku butuh kejelasan, tidak bisa dibiarkan tergantung seperti ini, iya aku sadar
diri dengan keadaanku, tapi aku juga punya harga diri, aku hanya butuh
kejelasan.
“ Ya
ampun Dit, aku lagi makan jangan ngrusak selera makanku donk! kamu tuh jadi
aneh ya blakangan ini, mending kamu diem aja nggak usah pake ngungkapin prasaan
kamu segala kaya waktu itu, kaya gini jadi berasa nggak nyaman sama kamu!” Seru
Prama dengan nada tinggi, begitu ketus, sakit sekali dadaku dibuatnya, aku
kontan beranjak dari kantin meninggalkannya saat itu juga.
Prama benar-benar
membuatku marah dan kecewa, rasanya lebih baik jika dia menolakku dan aku akan
menghilang dari hidupnya, dia sungguh egois.
Ponselku berbunyi, telpon dari Prama, tapi aku
rasa sakit hatiku membuatku enggan untuk menjawabnya. Sudah hampir satu minngu
aku menghindarinya, aku begitu ingin menguburnya dari hidupku, tapi tetap saja
aku tak mampu, rasa rindu yang dalam selalu menyelimuti, hingga mengalahkan
rasa kecewaku.
“ Aku
Kecelakaan, Dit, lagi di RS Soetomo, Paviliun Anggrek No. 5A. “
Pesan
singkat yang kuterima dari Prama malam itu, mataku terbelalak lebar dari rasa
kantuk yang tadinya mendera, dadaku berdetak kencang, saat itu juga aku tarik
motorku melaju menuju RS yang Prama tunjuk.
Tidak
sulit untuk menemukan kamar Prama dirawat, dari balik jendela kaca aku
melihatnya terbaring dengan perban dilengan kanan kirinya, dan perban
didagunya.
“Pram...!”
Aku memanggil, kakiku berjalan cepat menyeruak masuk kedalam kamar Rumah sakit,
bau obat makin kentara menusuk hidungku.
“Dita!”
Prama menyahut riang, seraya mencoba bangun dari tidurnya, dia terlihat
kesulitan , lalu mengerang menahan sakit dilengannya, mungkin karena terlalu
terburu buru, seketika aku menangkap pundaknya, membantunya terduduk.
“ Kok
bisa sih Pram??” aku begitu cemas, rasanya ingin menangis menyaksikan kedaan
Prama saat ini, tak punya hati dibuatnya.
“
Ehk...ada Dita.” Sapa Ibu Prama yang muncul tiba-tiba.
“
Tante” aku balas menyapa.
“ Itu,
Prama jatuh dari motor, ngebut sih, waktu itu Tante suruh dia anterin kue
kerumah Dita, ehk...malah begini!” jelas Tante Siwi, Ibu Prama
“ Kan
ada Dita, tunggu sini bentar boleh ya, Tante kedepan dulu ambil obat Prama,
yah!” Pinta Tante Siwi, aku menggangguk setuju, Beliau lalu beranjak pergi.
“ Aku
kualat sama kamu kali Dit!” ucap Prama tiba-tiba.
“ Lha
Kok?!” aku mengerutkan dahi, heran.
“
Yah..karena aku bikin kamu marah to? Sampe nggak mau ketemu aku, telpon gak
dijawab, sms gak dibales, di BBM dicuekin, tapi akhirnya cara ini berhasil juga
buat narik perhatian kamu.”
“ Otak
kamu digadein dimana sih? Sarap nih orang!” hardikku tak habis pikir dengan
ucapan Prama barusan.
“ Jadi
kamu sengaja jatoh gitu?”
“ Sengaja
sih enggak, tapi kepikir iya!”
Aku
terdiam, menarik nafas panjang, gemas, ingin sekali kujitak habis kepalanya.
“ Jangan
gitu lagi donk, Dit, aku takut dicuekin sama kamu seperti kemarin, maafin aku
ya?” Seru Prama lirih, dia menatapku tajam.
Perempuan
mana yang tidak luluh hatinya kalau sudah begini, aku berjalan mendekat, duduk
disamping ranjang Prama yang putih.
“
Hakh... Prama..Prama, kumu bisa bikin aku gila!” kataku kesal.
“ Jujur
ya, kamu begitu penting buat aku, aku sendiri masih belum tahu seperti apa
perasaanku untukmu, yang jelas aku nggak mau kehilangan kamu Dit, bersama kamu
aku bisa tenang, aku bisa kuat, aku bisa menemukan siapa aku, aku memang tidak
yakin kalau ini cinta, tapi aku sungguh takut kehilangan kamu, jadi aku mohon,
bersabarlah menunggu, sampai aku benar benar tahu seperti apa persaanku sama
kamu!”
Malam
itu begitu tenang, meninggalkanku dan Prama yang saling bertatapan.
Begitulah, kuputuskan untuk
menikmati hubungan seperti ini, bersabar penuh harap,seperti yang disampaikan
Prama saat itu, aku tahu ini gila, aku bodoh, karena hidup dalam ketidakpastian,
aku pun tak lagi memaksa Prama memberikan jawaban tentang perasaanya kepadaku,
yang ku tahu, dia masih ada disampingku, bersamaku, itu sudah cukup, sudah
membuatku bahagia.
Hingga
hari itu datang, di malam yang dingin diantara rintik hujan, Prama membawaku
kesuatu tempat yang tak pernah kami kunjungi sebelumnya.
“
Kenalin Dit, ini Gendis!” Seru Prama
Seorang
gadis berkulit mulus dan cantik berdiri mengulurkan tangannya padaku, perlahan
aku menyambutnya, penuh tanya dibenakku.
“ Hai,
Aku Gendis” Sapa Gadis itu
“
Dita!” Balasku
“ Ini
sahabat terbaikku Ndis, cewek yang paling aku sayang.” Seru Prama lagi,
tanggannya menepuk-nepuk kepalaku ringan.
“ Ohk, gitu!”
sahut Gendis, gadis itu menyibak rambut panjangnya yang tersapu angin “ Prama
sering banget ceritain kamu, bikin aku cemburu, lho!” lanjutnya.
Tunggu!!
Cemburu ? Prama sering menceritakan keberadaanku ? siapa dia, sedikitpun aku
tak pernah mengenal gadis ini.
“ Maaf,
tapi Prama nggak pernah cerita apapun tentang kamu.” Sahutku penasaran.
“ oya?”
Gendis menatap Prama penuh tanya, “ ihk...kamu jahat deh Pram!” geliat Gendis memanja.
“ehm..Gini
Dit, aku emang sengaja sih nggak cerita, aku mau langsung tunjukan saja sama
kamu, Gendis ini pacarku Dit, kami baru seminggu jadian!”
JEDDEEEER...
serasa langit runtuh, aku tak percaya dengan yang kudengar, kuharap ini mimpi, aku
terus saja mencubit-cubit lenganku, dengan harapan agar aku bisa terbangun,
tapi rasanya lenganku sakit, sakit sekali, dadaku begitu sesak, darahku serasa
naik kebun-ubun. Teganya kamu Prama, jadi ini caramu menjawab perasaanku, ini
lebih menyakitkan dari sekedar penolakan, atau perasaan digantung tanpa pasti,
ini pembunuhan. Jahatnya kau Prama, aku benci kamu, kamu sudah memberikan
harapan palsu buatku, untuk apa?
“
Wah..selamat ya!”
Aku
menebar senyum, senyum terberat yang pernah kuuntai, senyum tersakit karena
penghianatan.
Aku
hancur, terluka, setelah malam menyakitkan itu aku bertekat untuk benar-benar
pergi sejauh yang kubisa dari hidup Prama, aku ingin menghilang ditelan bumi,
kalau saja aku tak takut Tuhan, sudah kuhempaskan tubuhku dari atas gedung yang
tinggi, tapi begitu picik jika mati karena cinta, aku memang mahluk terbodoh
yang pernah hidup didunia ini, merasa dipermainkan, tentu saja. Kuusap air
mataku yang mengalir deras. Mataku begitu sembab hingga sulit melihat.
Kupandang cermin dihadapanku, terpantul bayangan gadis buruk rupa, kuambil
botol parfum dan kulempar sekeras kerasnya kerah cermin hingga hancur
berkeping-keping, aku kembali menangis sejadi-jadinya.
“ Tumben
jalan sendiri, soulmatenya mana?” Fadli datang tiba-tiba sambil mendaratkan
tepukan kecil dipundakku dan aku paham siapa yang dia maksud soulmate.
“ Emang
aku Baby sitter dia?” jawabku ketus, peduli setan dengan si Prama, dia mungkin
sedang sibuk dengan boneka barunya yang cantik sekarang.
“ Wiudiiiih...si
Putri Salju bisa jadi ratu jahat!”
“ Apa??”
pekikku tak terima.
“ Eits...sabar
to jenk, biasanya ramah senyum sana-sini, blakangan jadi murung, trus jutek,
bukan Dita yang kukenal!” terang Fadli sok akrab.
Oya?
Aku berubah jadi ratu jahat? Hahk..hebat sekali liat apa yang sudah dibuat
Prama kepadaku!
Fadli
terus saja berkicau, entah apa, pikiranku tak bisa menanggkap apapun dari yang
dia katakan, imajinasiku masih terus melayang jauh, bertanya-tanya apa gerangan
yang sedang dilakukan Prama dengan kekasih barunya itu kini, tentunya dia tak
lagi membutuhkan aku, seseorang yang sempurna sudah memeluknya erat, ahk..aku
bergidik sejenak tersadar betapa bodohnya aku, masih saja mengingat dia yang
begitu jahat memperlakukanku. Menyajikan harapan kosong , Prama...apa niatmu
sebenarnya, kenapa memperlakukanku seperti ini? Apakah karena wajah cacatku ini
yang menghalanginya untuk lebih jauh menjalin hubungan denganku, menghalangi
perasaannya yang sesungguhnya. Kukejap-kejabkan pelupuk mataku yang mulai panas
tergenang air mata.
“ Lho
kenapa Dit? Kamu nangis? ” kata Fadli yang sedari tadi masih kuacuhkan
keberadaannya disampingku.
“ Fad,
jawab jujur ya, apa wajahku ini mengerikan?” Ahk...sungguh pertanyaan bodoh
yang tak perlu kusampaikan pada Fadli.
“
Kenapa sih, kok tiba-tiba tanya begitu ?” jawab Fadli, mimiknya kebingungan
dengan pertanyaan bodohku, Tentu saja wajahku ini mengerikan, kenapa masih saja
aku tanya, bagaimana tidak mengerikan jika luka bakar terpampang jelas, aku
saja yang tak tahu diri, yang berharap bisa memiliki Prama, padahal aku tak
pantas memiliki siapapun. Air mataku tiba-tiba makin mengalir deras, tak
terbendung lagi.
“Astaga
Dit, kamu kenapa Dit, kok malah nangis ?!” Fadli malah salah tingkah, makin
kebingungan.
Aku
menyapu air mata yang jatuh dipipi, betapa bodohnya kupikirku.
“ Aku
salah ngomong ya, Dit?” tebak Fadli, aku menjawab dengan menggeleng pelan.
“
Sorry, ya Fad!” seruku lirih.
“ Kamu
kenapa sih Dit ? aku boleh tahu?” desak Fadli
“ Aku
nggak bisa liat cewek nangis, aduh, gak tahu harus ngapain! Ehk tapi bener kan
bukan gara-gara aku salah ngomong?” Fadli kembali memastikan.
“ Nggak
bukan kamu, aku cuma ngerasa, aku ini jelek banget, menyeramkan kaya monster!”
“
Astaga Dit, kok bilang gitu sih, ada orang yang ngejek kamu ya? Sini mana
orangnya, biar aku tabok mulutnya!” Seru Fadli penuh emosi, hingga bangkit dari
posisi duduknya.
Fadli
perlahan duduk kembali keposisinya, teruntai senyum kecil dibibirnya
“ Dit, bohong kalau aku bilang wajah kamu
semulus Syahrini, semua juga tahu kan? Tapi terlambat sekali rasanya kalau kamu
mempermasalahkan itu sekarang, bukannya selama ini kamu toh tetap enjoy, Pede,
sampai-sampai luka diwajah kamu ini nggak terlihat lagi dimata kami, kamu
selalu ceria, kami semua salut sama kamu malah, luka itu juga jadi semacam identitas
yang membawa kamu kepopularitas, siapa yang nggak kenal Dita..”
“ Dita
yang mukanya cacat kebakar??” sahutku ketus
“Lho..lho..bukan
gitu maksudku.” Elak Fadli gugup.
“
Sudahlah Fad!!”
“ Kamu
cantik kok Dit, Serius, Sungguh!” Tiba-tiba Fadli meraih tali rambutku,
melapaskan ikatannya, membuat helai demi helai tergerai
“
Tuh...Cantik! ” Serunya lirih, untuk beberapa saat kami saling terpatung
memandang aku jadi kikuk.
“
Anterin aku kesalon, yuk!” Pintaku.
Fadli menggeleng seraya tertawa kecil, kubuat heran
dengan ulahku.
“ Siap,
Tuan Putri!!!”
Tak menunggu
lama kuraih lengan Fadli , kami berjalan beriringan, Sepertinya aku harus mengubah penampilan,
hasil karya salon kecantikan pasti cukup membantuku, setidaknya aku bisa
melepas sedikit rasa sakit hati ini. Terima Kasih Fadli. Sesampainya lapangan
parkir, Fadli merogos sakunya, mengambil kunci motor, mataku kemudian menangkap
pemandangan yang sangat akrab dimataku. Prama, lekali itu berjalan mendekatiku
dan Fadli.
“ Dit,
Kemana aja sih, kamu ngilang terus!!” Prama seketika menyambarku dengan
pertanyaan.
Aku
mencoba untuk tenang.
“ Lho
ngapain nyari aku, kan ada Gendis?” Sahutku
Kening
Prama berkerut, matanya memicing, seolah dia paham maksud ucapanku tadi. Dia
pasti tau aku sedang marah, kecewa, dan cemburu.
“ Kamu
marah aku jadian sama Gendis? Kamu Cemburu?” Ucapan Prama sungguh tepat saran,
yah...begitu donk, kamu tahu perasaanku.
“ Gak
Cuma itu, aku sakit hati Pram..” Timpalku ketus
“
Seenak jidatmu kamu mempermainkan aku, memberi harapan, menyuruh aku menunggu
sampai kamu tahu jelas perasaan kamu sama aku, tapi kamu menjawab dengan sangat
pengecut!” dadaku terasa sesak dan panas, tenggorokanku bagai tercekit saking
emosinya.
Prama
meraih tanganku
“ Apa
sih, lepasin!!!” Pekikku
“
Hei..hei..slow..guys slow!! Sabar, aduh jangan berantem diparkiran gini, malu
kan?!” Fadli yang sedari tadi kebingungan menyaksikan tontonan yang kami
suguhkahn segera melerai.
Aku
mengusap air mataku yang jatuh sekali lagi.
“
Fad..yuk kita pergi!!” Aku bergegas beranjak dari tempatku berdiri
“ Dit,
Tunggu, kita harus bicara!” tahan Prama.
Aku tak
mau peduli lagi, sudah cukup aku menjadi mahluk tolol didunia ini. Fadli
mengikutiku, dia lalu menyalakan motornya, aku spontan naik keboncengan tanpa
menunggu lama dia segera menarik gas menjauh meninggalkan Prama.
“Tuuuh
kan, kamu berantem sama Prama!” Ujar Fadli ditengah perjalanan, aku hanya diam,
masih sibuk menghapus air mataku yang masih saja jatuh.
“
selesaikan dulu, Dit, jangan dibiarkan ngambang begitu nggak baik!” lanjut Fadli
“ Udah
selesai kok Fad, sudah selesai!” aku menjawab tegas.
Benar
saja, cerita tentang aku dan Prama sudah selesai , Tak ada lagi Prama dalam
hidupku, aku lalu menghilang, jauh, berusaha menghapus jejakku dari hidupnya
sejauh mungkin.
Hari
pun berganti bulan, bulan berganti tahun, empat tahun sudah kujalani tanpa
sosok Prama, setelah menyelesaikan study Srata satu dikota lain, nasib baik
kemudian mengantarkanku bekerja disalah satu perusahan rokok terbesar di
Indonesia, Karirku begitu cemerlang sehingga penghasilanku mampu merubah
perekonomianku secara drastis, memberi cukup dana untuk menutup luka bakar
diwajah ini dengan operasi plastik yang menyakitkan, bagi sulap hasilnya mengembalikan
lagi kecantikanku yang sempat terengut. Kini aku sudah berubah, bukan Dita si
perempuan buruk rupa dan cacat lagi. Tapi anehnya, luka dihatiku masih juga
tidak berubah, Prama benar-benar telah menggoreskan trauma dalam cerita cinta
ini, membuatku jera.
Malam
sudah semakin larut ketika aku melangkah gontai keluar dari mobilku untuk mendorong
pagar rumah hingga terbuka.
“
Dita!! ” Panggil seseorang dari belakang punggungku, aku menoleh.
“Prama!!
“ Pekikiku, tak percaya rasanya, seseorang itu adalah Prama.
Dia
berjalan mendekat, wajahnya makin jelas terlihat dibawah sinar lampu jalan.
“ Apa
kabar, Dit ?! ” lanjutnya
Aku
hanya terdiam seribu bahasa, apakah aku sedang bermimpi, kalau iya, aku tidak
ingin terbangun, sekalipun lelaki ini telah menorehkan luka yang begitu dalam,
tapi...aku tak bisa membohongi hatiku kalau masih aku begitu merindukannya,
mataku terbelalak lebar melihat kehadirannya yang makin jelas dihadapanku kini.
“ Kamu
cantik sekali sekarang! ” dia makin mendekat, hingga tepat berdiri beberapa jengkal
dari hadapanku, dengan lembut jemarinya menyentuh wajahku, wajahku yang kini
mulus tanpa bekas luka, aku terdorong untuk menyambut jemari hangat yang kini
menyentuh wajahku itu, kugenggam erat. Ya Tuhan, Prama, aku begitu
merindukannya.
Seketika
dia merengkuhku dalam pelukannya, begitu hangat, erat. Aku gemetar hebat,
hingga lututku lemas. Kenapa?? Ohk...Dita kenapa kamu kembali menjadi mahluk
yang bodoh, lupakah kamu bagaimana dia menyakitimu??!
“ Aku kangen sekali sama kamu, Dit! ” Prama
berbisik, sungguh ingin melepas pelukannya yang makin erat, tapi...aku tak kuasa,
tubuhku seakan menginginkan pelukan itu tak terlepas.
Segelas Kopi kusuguhkan diatas meja,
sembari menyodorkan beberapa kaleng kue kering, Sejenak mata kami saling
bertatapan, tanganku masih saja gemetar terbawa perasaan yang tak menentu,
mengingat beberapa menit yang lalu tangan itu baru saja merengkuhku dalam
dekapannya. Prama terlihat lebih dewasa dari Prama yang kukenal empat tahun
lalu, Dia membiarkan jambang ditepi wajahnya tumbuh, membuatnya makin gagah,
rambutnya yang ikal ditata lebih cepak rapi.
“ Susah
sekali menemukan kamu, kenapa kamu begitu saja tanpa alasan sedikitpun! ”
dimemulai pembicaraan.
“
Bagaimana bisa menemukanku?” tanyaku penasaran.
“ Dari
Vika, setelah aku menceritakan segalanya, dia baru mau buka mulut! ”
Akh..Vika,
tentu saja beberapa bulan yang lalu kami bertemu disuatu seminar.
“
Kamu,mengoprasi wajah kamu?” Lanjut Prama, matanya masih terus menatapku tajam.
Aku
menggangguk pelan, Prama menarik nafasnya.
“
Setidaknya aku tidak lagi membuat seseorang ragu untuk menyatakan perasaannya
padaku.” Jawabku ketus.
Prama menggeleng,
lalu tertunduk sedih.
“ Maafkan
aku Dit, Maafkan aku, saat itu aku tak tahu kalau aku sudah begitu bodoh dengan
keputusanku sendiri, saat itu aku masih bimbang Dit, setelah kamu pergi baru
aku tahu betapa kamu sangat berarti untukku.”
“
Gombal kamu!” Protesku “ Trus Gendismu mau kamu kemanain?” aku menyambung
“ Sudah
putus Dit, gak berapa lama setelah kamu ninggalin aku, dia cemburu banget sama
kamu, malah dia yang nyuruh aku nyari kamu! Dia menyadarkan aku akan perasaanku
padamu.”
“ Jadi
sekarang perasaan kamu keaku gimana?” sambarku, ada rasa penasaran menggeliat.
“ Aku
sayang kamu, aku tidak mau kehilangan kamu lagi, dan sejak awal aku tegaskan,
luka diwajahmu tidak pernah jadi penghalang, sekalipun detik ini tiba-tiba
wajahmu kembali seperti dulu, aku tetap mau kamu jadi milikku!”
Sungguh
tegas ucapan Prama, bagai air yang menyegarkan dahagaku selama ini, mengobati
luka hati yang sekian lama kupendam. Sepenuh hati aku menerimanya kembali, kali
ini, sebagi milikku, milikku.
Bulan pertama, kedua berlalu mulus,
mengijak bulan ketiga riak kecil mulai berdatangan, Empat tahun terpisah dengan
Prama bukan waktu yang sebentar untuk mengubah dirinya, banyak sisi Prama yang
dulu kukenal menghilang, tabiatnya pun berubah kasar, dan tak lagi ingin selalu
ada untuk melindungiku seperti dulu, ketika wajahku masih buruk karena goresan
luka bakar. Dia sering cemburu tanpa alasan, dan cenderung lebih bersikap acuh. Blakangan dia
justru sering membuatku kecewa , membuatku sakit hati karena ulahnya.
“ Aku
merindukan hubungan kita yang dulu! ” Seruku penuh emosi, akhirnya aku sudah
tak tahan lagi.
“
Terserah Dit, aku juga sudah capek!” Ucap Prama lemah.
Aku
menangis sejadi-jadinya sekali lagi, sekali lagi hatiku terluka karena nama
yang sama.
*************::::::::::***************
Siang
itu gerimis turun membasahi bumi, menyebarkan bau wangi tanah, aku bergegas
menuju restoran kecil yang ditunjuk Prama, aku mengiyakan niatnya untuk bertemu
ditengah hubungan kami yang menegang, dengan masih menyimpan harapan kecil
dihatiku, untuk bisa memperbaikinya.
“ Ada
kalanya hubungan sepasang laki-laki dan perempuan berjalan sangat sempurna hanya dibatas garis persahabatan
saja, tidak lebih. “ Seru Prama, sambil memutar-mutar cangkir kopi ditangannya.
“ dan
aku yakin kita ada didalam posisi itu, aku begitu nyaman berada didekatmu
ketika status kita sahabat, tapi begitu aku menjadikanmu milikku, aku justru
tidak tenang, ada rasa kesal ketika kamu tidak ada disampingku ketika aku butuh,
aku cemburu pada siapa saja yang mendekatimu, karena dalam benakku, kamu hanya
milikku, aku tidak pernah rela ada sepasang mata liar lelaki yang memandangmu
lebih dari sedetik.” Prama behenti berucap sejenak, menyrutup kopinya perlahan.
“ semua
itu membuatku gila Dit, aku seperti kehilangan akal sehat, jadi uring-uringan,
dan malah menyakiti kamu, aku tidak mau mencintaimu seperti ini Dit.”
Sambungnya, begitu serius, mata tajamnya sekilas berkaca tak kala menuturkan
kalimat terakhir.
“
sebelum kita lebih jauh melangkah, sebelum aku lebih banyak menyakitimu,
mungkin...sebaiknya kita akhiri saja!” Prama kembali melanjutkan.
Aku
terbisu, tak sepatah katapun mampu kuucap, rasanya waktu berhenti berputar,
segalanya gelap, walaupun aku begitu ingin memilikinya selamanya, namun ucapan
Prama benar, cinta seperti ini justru akan membunuh kami.
“ Dit,
aku sangat mencintai kamu, aku sungguh tidak mau kehilangan kamu, tetaplah
disampingku Dit, tapi...sebagai sahabatku yang selalu aku banggakan seperti
dulu! ” Pinta Prama, digenggamnya jemariku erat, aku masih terduduk dan
bungkam,mataku menerawang jauh, jiwaku seolah melayang-layang, hubungan cinta
ini tidak berhasil.
Waktu
pun menjawab, pada akhirnya kami tetap bersama tapi dengan status, sahabat
saja. Diwaktu luang kami bertemu, bercanda tawa seperti dulu kala, Prama
kembali begitu lepas, menjadi sosok yang hampir kukenal kembali. Kami lebih
menikmati hubungan seperti ini, Teman tapi Mesra, hehe.
Malam
itu Prama masih asik dengan ponsel ditangannya, sambil mendengarkan cerita
keseharianku sepanjang siang tadi, sesekali dia menimpali dengan candaan
konyol.Tak lama siPonsel berbunyi, dia pamit sejenak untuk menjawab panggilan
itu, beberapa menit kemudian dia kembali.
“ Siapa
Pram?” aku bertanya penasaran.
“
Ehm...Gendis!” jawab Prama kaku.
Jujur
saja aku cemburu begitu tahu siapa si penelpon itu, tapi aku tak mau lagi
larut, secepat kilat aku mengembalikan diriku pada porsiku dihidup Prama.
“ Kalian dekat lagi toh?” cerocosku
“ Dit, Gendis ngajak aku balikan,
gimana menurut kamu?”
Nyawaku
terasa melayang saat itu, ingin sekali aku berteriak kerasa dan bilang,
JANGAN!! Jangan dia, kenapa harus dia?
“ Kalau
kamu nyaman sama dia, kenapa enggak?” seruku, akhirnya
Prama
tersenyum lega, menyiratkan perasaan dihatinya, perih sekali rasanya hatiku.
Dan
Tepat sebulan kemudian, hubungan mereka terjalin kembali, hubungan mereka juga
tidak terlalu mulus, tapi Gendis seakan memiliki daya tarik tersendiri untuk
Prama, magnet cintanya bener benar mengikatnya kuat.
Gendis
pun menjadi sosok yang tepat untuk Prama, meskipun sesekali Prama masih terus
menghubungiku untuk sekedar berbagi cerita disela jam makan siang. Aku cemburu
sekali ketika suatu kali sempat berpasan dengan mereka disalah satu pusat
perbelanjaan, Kulihat Prama merangkul Gendis dengan lembut seolah gadis itu
hanya akan aman disampingnya. Hahk..aku berharap akulah yang ada direngkuhan
lengan Prama yang kekar itu.
“ Kami
akan menikah Dit, doakan kami yah! Ini undangannya, kamu harus datang!”
Ujar
Prama suatu sore yang hening, hanya ada aku dan dia saat itu. Pelupuk mataku
terasa panas. Prama yeng menyadari gelagatku yang berubah, serentak meraih
tanganku, digenggamnya erat.
“ aku
sayang kamu, Dit, sungguh! Dan aku tahu hatimu, kita sudah pernah mencoba untuk
menyatukannya, tapi...malah melukai kita berdua, aku tau ini egois, tapi aku
hanya ingin kamu tetap disampingku dengan cara yang lain.”
Kini, aku terkulai lemas diatas kasurku,
memandang langit-langit kamar, sembari mengingat kembali kata-kata yang penah
Prama sampaikan kepadaku dulu “ Ada kalanya hubungan sepasang laki-laki dan
perempuan berjalan sangat sempurna hanya
dibatas sahabat saja, tidak lebih.”
Hubungan
cinta seperti yang kami jalani ini, memang tidak bisa mudah dimengerti oleh
siapapun. Tapi...inilah kenyataanya.
Prama, semoga kau selalu berbahagia, aku yakin
aku akan menemukan, someone like you, yang memang tercipta untukku.
Surabaya,
24 June 2013
The
Boombastis Kiara
Thanx
for Good Friend Somewhere out there
Who
bring me some Inspiration